Beranjak
Semua berawal dari rumah kecil kami. Rumah yang begitu hangat. Setiap pagi yang datang, selalu disambut dengan kesejukan dan kerindangan sehingga kehidupan kami terasa seperti selalu baru. Setiap membuka mata dari pulasnya malam, selalu tercium ruangan yang wangi dan segar. Kami merasa, bahwa rumah kami yang kecil ini, telah dibesarkan oleh kasih sayang kedua orang tua kami. Ia menjadi buah cinta keluarga. Seperti kami, buah cinta mereka. Rumah ini selalu dirawat dan dijaga hingga kapanpun waktunya.
Setiap pagi, ibu menyuruh kami bangun begitu buta, bersamaan dengan kokok ayam. Katanya, pagi yang buta itu mengantarkan rizeki lewat embun yang hinggap di dedaunan yang malas. Jika tidak sempat bangun dan melihat embun, maka rizeki pada hari itu, akan menghilang entah kemana larinya. "Duluan dipatok ayam nanti kalo kesiangan terus". Mungkin itu terdengar lucu semenjak kami sekolah dan belajar fisika. Tapi, di luar ketidakmasukakalan itulah justru membuat kami selalu terjaga.
Baru setelah itu, kami disuruh berjalan di halaman rumah sembari melepas sandal. Katanya, biar urat-urat di kaki kami bisa bertemu kerikil dan tanah, tempat asal manusia diciptakan. Selain itu, supaya tidak mudah rematik. Biar tidak seperti kakek, mertua ibu. Kakek adalah pekerja yang sangat ulet, dia sebagai salah satu staff di kantor penerbitan koran. Jam kerjanya hingga larut malam. Jam waktu tidurnya pun tidak sama dengan manusia normal. Malam untuk bekerja, siang untuk tidur. "Tidur di waktu pagi itu tidak baik. Agama sudah mengajarkan itu, kan". Dan kami tetap tersenyum ketika mendoakan kakek setiap kamis malam ke kuburannya.
Yang ketiga, mungkin hal ini yang paling melekat hingga sekarang, hingga kami dewasa, yaitu menyayangi rumah. Merawat dengan penuh kasih sayang. Rumah adalah tempat kita pulang, tempat kita berkumpul, tidur, makan dan mungkin bermimpi atau berangan-angan. Rumah juga melindungi dari panasnya siang dan dinginnya malam. Juga melindungi dari angin kencang dan banjir. Rumah itu, kata ibu, sama dengan anak, "Adalah titipan Tuhan", ia yang harus dijaga sebaik mungkin. Keluarga yang harmonis tercermin dari bagaimana cara mereka merawat rumah.
Yang paling kami ingat, betapa rumah itu dijaga setiap waktu, ketika terpajang photo seorang lelaki yang tak pernah bertemu sekali dalam hidup kami. Dia bersama ibu, di beranda, dengan figura yang sangat besar. Tidak ada photo yang lebih besar daripada photo mereka berdua. Ibu tidak pernah bercerita lelaki itu pergi sejak kapan dan dengan alasan apa. Tapi kami sering melihat ibu berlama-lama di depan photo itu. Memandangnya, seperti kami memandang photo kakek. Lama dan banyak kenangan muncul. Seperti itukah perasaan ibu tatkala memandang lelaki itu?
Pernah suatu malam, waktu cuaca buruk, angin yang sangat kencang, petir menyambar langit-langit setiap atap rumah-rumah, Ibu pergi ke beranda, untuk mengambil photo besar itu, lalu mendekapnya dan membawa ke kamarnya. Photo-photo yang lain, seperti photo kami, kakek-nenek, dan photo bersama di depan rumah, dibiarkan begitu saja, menyaksikan cahaya-cahaya petir berkelabat lewat jendela.
Pernah juga, ketika kami berlibur ke luar kota, waktu itu, sama hidup kakek, kakeklah yang justru mengajak kami berlibur. Katanya, ada tiket sekeluarga dari kantor ke Solo. Kami berencana liburan selama empat hari. Di hari kedua, kami ke pantai, bermain air, membakar jagung serta membuat pasir istana. Di saat kami mencari dimana ibu menyimpan tenda di mobil, seketika kami melihat photo itu lagi. Ibu pasti membawanya, entah apa maksudnya.
Hingga kemudian, setelah berkali-kali kami melihat ibu begitu erat dan tidak bisa melepas photo itu, kami bertanya bermaksud untuk menenangkan ibu. Jika dia tidak ingin berbicara kepada anaknya karena ingin melupakan masa lalunya, paling tidak ibu memperlakukan photo itu sama dengan photo-photo keluarga yang meninggal. Tetapi justru tidak. Seperti ada banyak hal yang dia simpan, dan tidak boleh diketahui siapapun, termasuk anaknya, anak lelaki itu juga.
Ibu tidak se-antusias menjawab pertanyaan kami seperti ketika kami menanyakan hal-hal lain, untuk apa manusia harus bangun pagi, untuk apa kaki harus bertemu tanah dan untuk apa pula merawat rumah seperti memiliki anak. Ibu selalu memberikan jawaban yang sangat pas supaya kita mengerti dan tidak bertanya lagi di kemudian hari. Tetapi tidak untuk persoalan lelaki itu. "Suatu hari, kalian akan mengerti" justru Ibu selalu menjawab dengan kalimat seperti itu.
Kami masih ingat, waktu kematian kakek, mertuanya, lebih tepatnya bapak lelaki itu. Tak satupun keluarga selain keluarga ibu dan para tetangga yang datang. Mulai dari memandikan, sholat janazah, hingga proses menguburkannya. Masa iya tidak ada anaknya yang lain, atau cucunya, atau kerabat meskipun jauh. Kami yakin, jika keluarga kakek itu ada, mereka tidak tahu bahwa sebenarnya sebagian keluarganya telah meninggal.
Semenjak kepergian kakek, kami hanya hidup berdua. Entah kepergian kakek membuat hidup kami berubah. Kami sering jarang pulang. Ketika pulang hanya ganti baju, lalu berangkat lagi. Di rumahpun kami sangat jarang. Seminggu sekali atau bahkan tidak sama sekali. Kami juga jarang bersama ibu, kami hampir tidak pernah mendengarkan nasihat-nasihatnya. Dan kami tahu, kepergian kakek bukan hanya merubah kami, tapi juga merubah ibu. Ibu lebih sering melihat wajah lelaki dalam kaca itu. Bahkan ibu sudah memindahkan tempat photo itu, dan membawa ke kamarnya.
Kami merasa, ibu sudah tidak lagi memperhatikan kami. Dia juga tidak pernah menelpon kami, meski kami berminggu-minggu tidak pulang. Padahal dulu, ibu selalu menelpon jika kami terlambat setengah jam tiba di rumah. Hingga kami yang tidak pulang-pulang, yang tidak pernah berbicara dengan ibu, tiba-tiba kami merindukannya. Mungkin ibu benar, bahwa selain anak, rumah adalah titipan Tuhan. Dan setiap keluarga akan kembali kepada rumahnya, dalam kondisi seburuk apapun itu.
rumah. Ya mungkin naluri anak muda memang demikian, ujar teman-temanku, bahkan ibu kos mereka juga mengatakan hal yang sama. Kami tahu kami salah. Dan kami masih tetap melakukannya.
Kini, kami tetap hidup dengan Aku senyuman si kecil, adek kandungku sendiri. Rumah ini, penuh dengan dedikasinya, terlihat dari cara ia menata sepray, menyapu, membereskan debu, mengecat tembok, membuat ruangan tambak bersih, dan tidak bosan mengingatkanku untuk selalu menyayangi tempat tinggalnya. Dia seperti kakak bahkan ibuku. Bukankah, mencintai sesuatu harus dimulai dari hal yang sederha.
Ini cerita tentang perjalanan hidup anak lanang di tengah kehidupan yang tidak banyak berwarna. Segala jenis kehidupan yang datar, biasa-biasa saja, tidak mengesankan, tidak bergairah, dan mungkin, tak ada masa depan yang bisa diintip, semuanya seperti menjadi dunia anak lanang ini. Dan yang paling menyebalkan, stereotipe-stereotipe orang-orang, hampir menjermusukannya untuk tidak menjadi dirinya sendiri. Betapa kurang mujurnya anak ini.
Setiap pagi, ibu menyuruh kami bangun begitu buta, bersamaan dengan kokok ayam. Katanya, pagi yang buta itu mengantarkan rizeki lewat embun yang hinggap di dedaunan yang malas. Jika tidak sempat bangun dan melihat embun, maka rizeki pada hari itu, akan menghilang entah kemana larinya. "Duluan dipatok ayam nanti kalo kesiangan terus". Mungkin itu terdengar lucu semenjak kami sekolah dan belajar fisika. Tapi, di luar ketidakmasukakalan itulah justru membuat kami selalu terjaga.
Baru setelah itu, kami disuruh berjalan di halaman rumah sembari melepas sandal. Katanya, biar urat-urat di kaki kami bisa bertemu kerikil dan tanah, tempat asal manusia diciptakan. Selain itu, supaya tidak mudah rematik. Biar tidak seperti kakek, mertua ibu. Kakek adalah pekerja yang sangat ulet, dia sebagai salah satu staff di kantor penerbitan koran. Jam kerjanya hingga larut malam. Jam waktu tidurnya pun tidak sama dengan manusia normal. Malam untuk bekerja, siang untuk tidur. "Tidur di waktu pagi itu tidak baik. Agama sudah mengajarkan itu, kan". Dan kami tetap tersenyum ketika mendoakan kakek setiap kamis malam ke kuburannya.
Yang ketiga, mungkin hal ini yang paling melekat hingga sekarang, hingga kami dewasa, yaitu menyayangi rumah. Merawat dengan penuh kasih sayang. Rumah adalah tempat kita pulang, tempat kita berkumpul, tidur, makan dan mungkin bermimpi atau berangan-angan. Rumah juga melindungi dari panasnya siang dan dinginnya malam. Juga melindungi dari angin kencang dan banjir. Rumah itu, kata ibu, sama dengan anak, "Adalah titipan Tuhan", ia yang harus dijaga sebaik mungkin. Keluarga yang harmonis tercermin dari bagaimana cara mereka merawat rumah.
Yang paling kami ingat, betapa rumah itu dijaga setiap waktu, ketika terpajang photo seorang lelaki yang tak pernah bertemu sekali dalam hidup kami. Dia bersama ibu, di beranda, dengan figura yang sangat besar. Tidak ada photo yang lebih besar daripada photo mereka berdua. Ibu tidak pernah bercerita lelaki itu pergi sejak kapan dan dengan alasan apa. Tapi kami sering melihat ibu berlama-lama di depan photo itu. Memandangnya, seperti kami memandang photo kakek. Lama dan banyak kenangan muncul. Seperti itukah perasaan ibu tatkala memandang lelaki itu?
Pernah suatu malam, waktu cuaca buruk, angin yang sangat kencang, petir menyambar langit-langit setiap atap rumah-rumah, Ibu pergi ke beranda, untuk mengambil photo besar itu, lalu mendekapnya dan membawa ke kamarnya. Photo-photo yang lain, seperti photo kami, kakek-nenek, dan photo bersama di depan rumah, dibiarkan begitu saja, menyaksikan cahaya-cahaya petir berkelabat lewat jendela.
Pernah juga, ketika kami berlibur ke luar kota, waktu itu, sama hidup kakek, kakeklah yang justru mengajak kami berlibur. Katanya, ada tiket sekeluarga dari kantor ke Solo. Kami berencana liburan selama empat hari. Di hari kedua, kami ke pantai, bermain air, membakar jagung serta membuat pasir istana. Di saat kami mencari dimana ibu menyimpan tenda di mobil, seketika kami melihat photo itu lagi. Ibu pasti membawanya, entah apa maksudnya.
Hingga kemudian, setelah berkali-kali kami melihat ibu begitu erat dan tidak bisa melepas photo itu, kami bertanya bermaksud untuk menenangkan ibu. Jika dia tidak ingin berbicara kepada anaknya karena ingin melupakan masa lalunya, paling tidak ibu memperlakukan photo itu sama dengan photo-photo keluarga yang meninggal. Tetapi justru tidak. Seperti ada banyak hal yang dia simpan, dan tidak boleh diketahui siapapun, termasuk anaknya, anak lelaki itu juga.
Ibu tidak se-antusias menjawab pertanyaan kami seperti ketika kami menanyakan hal-hal lain, untuk apa manusia harus bangun pagi, untuk apa kaki harus bertemu tanah dan untuk apa pula merawat rumah seperti memiliki anak. Ibu selalu memberikan jawaban yang sangat pas supaya kita mengerti dan tidak bertanya lagi di kemudian hari. Tetapi tidak untuk persoalan lelaki itu. "Suatu hari, kalian akan mengerti" justru Ibu selalu menjawab dengan kalimat seperti itu.
Kami masih ingat, waktu kematian kakek, mertuanya, lebih tepatnya bapak lelaki itu. Tak satupun keluarga selain keluarga ibu dan para tetangga yang datang. Mulai dari memandikan, sholat janazah, hingga proses menguburkannya. Masa iya tidak ada anaknya yang lain, atau cucunya, atau kerabat meskipun jauh. Kami yakin, jika keluarga kakek itu ada, mereka tidak tahu bahwa sebenarnya sebagian keluarganya telah meninggal.
Semenjak kepergian kakek, kami hanya hidup berdua. Entah kepergian kakek membuat hidup kami berubah. Kami sering jarang pulang. Ketika pulang hanya ganti baju, lalu berangkat lagi. Di rumahpun kami sangat jarang. Seminggu sekali atau bahkan tidak sama sekali. Kami juga jarang bersama ibu, kami hampir tidak pernah mendengarkan nasihat-nasihatnya. Dan kami tahu, kepergian kakek bukan hanya merubah kami, tapi juga merubah ibu. Ibu lebih sering melihat wajah lelaki dalam kaca itu. Bahkan ibu sudah memindahkan tempat photo itu, dan membawa ke kamarnya.
Kami merasa, ibu sudah tidak lagi memperhatikan kami. Dia juga tidak pernah menelpon kami, meski kami berminggu-minggu tidak pulang. Padahal dulu, ibu selalu menelpon jika kami terlambat setengah jam tiba di rumah. Hingga kami yang tidak pulang-pulang, yang tidak pernah berbicara dengan ibu, tiba-tiba kami merindukannya. Mungkin ibu benar, bahwa selain anak, rumah adalah titipan Tuhan. Dan setiap keluarga akan kembali kepada rumahnya, dalam kondisi seburuk apapun itu.
rumah. Ya mungkin naluri anak muda memang demikian, ujar teman-temanku, bahkan ibu kos mereka juga mengatakan hal yang sama. Kami tahu kami salah. Dan kami masih tetap melakukannya.
Kini, kami tetap hidup dengan Aku senyuman si kecil, adek kandungku sendiri. Rumah ini, penuh dengan dedikasinya, terlihat dari cara ia menata sepray, menyapu, membereskan debu, mengecat tembok, membuat ruangan tambak bersih, dan tidak bosan mengingatkanku untuk selalu menyayangi tempat tinggalnya. Dia seperti kakak bahkan ibuku. Bukankah, mencintai sesuatu harus dimulai dari hal yang sederha.
Ini cerita tentang perjalanan hidup anak lanang di tengah kehidupan yang tidak banyak berwarna. Segala jenis kehidupan yang datar, biasa-biasa saja, tidak mengesankan, tidak bergairah, dan mungkin, tak ada masa depan yang bisa diintip, semuanya seperti menjadi dunia anak lanang ini. Dan yang paling menyebalkan, stereotipe-stereotipe orang-orang, hampir menjermusukannya untuk tidak menjadi dirinya sendiri. Betapa kurang mujurnya anak ini.
Artinya, ini kisah proses metamorfosis seorang anak lanang yang kian lama, kian susah beranjak dari bangun yang terlalu pulas. Atau mungkin, karena memang dia ditakdirkan untuk tidak bangun-bangun. Hidup dalam pikirang orang-orang. Dan tetap lelap di dalam selimut tebalnya.

Comments
Post a Comment